Perkawinan Adat Ternate
Pengertian Perkawinan dan Dasar serta Tujuan Perkawinan
Awal dari kehidupan berkeluarga adalah
dengan melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilaksanakan dengan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, kelak dapat mengakibatkan
timbulnya masalah dalam kehidupan keluarga. Sedangkan hidup sebagai susmi-istri
diluar perkawinan (pernikahan) adalah perzinaan. Dan perzinaan adalah perbuatan
terkutuk dan termasuk salah satu dosa besar.
Dasar
dan tujuan perkawinan menurut Perundang-undangan :
Dasar dan tujuan tersebut dalam
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tercantum dalam pasal 1 dan
2.
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir-bathin antara
seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Pasal 2
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hokum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar
dan tujuan perkawinan dalam Islam :
Melaksanakan Sunnatullah sebagaimana
tersebut dalam Al-Qur’an Yang artinya :
“ Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui “
[1035]
Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang
tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Melaksanakan sunnah Rasul sebagaimana
tersebut dalam hadits Nabi SAW yang artinya :
“ Perkawinan adalah peraturanku, barang
siapa yang benci kepada peraturanku, bukanlah ia termasuk umatku. (H.R. Bukhari
dan Muslim) “
Tujuan Pokok perkawinan dalam Islam adalah
sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’a, Yang Artinya :
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir “
Perkawinan dalam islam juga bertujuan untuk
memelihara pandangan mata dan menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan
dalam hadits Nabi SAW Yang Artinya :
" Dari Abdullah Bin Mas’ud ia berkata, telah
berkata kepada kami Rasulullah SAW : Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara
kamu yang telah sanggup kawin maka hendaklah ia kawin, maka sesungguhnya kawin
itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh Agama) dan memelihara
faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa, karena puasa
itu adalah perisai baginya” (H.R. Buhkari dan Muslim)
Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :
1. LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI (=Meminang/Kawin Minta)
2. WOSA SUBA (=Kawin Sembah)
3. SICOHO (=Kawin Tangkap)
4. KOFU’U (=Dijodohkan)
5. MASIBIRI (=Kawin Lari)
6. NGALI NGASU (=Ganti Tiang)
Sejak dilahirkan ke
dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di
dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya
sebuah keluarga. Dimana dalam keluarga gejala kehidupan umat manusia akan
terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hidup
bersama antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan
perkawinan. Perkawinan merupakan suatu
ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedemikian luhurnya
anggapan tentang suatu perkawinan menyebabkan terlibatnya seluruh kerabat dan bahkan
seluruh anggota masyarakat itu yang memberi petuah dan nasehat serta pengharapan agar dapat dilihat dalam kenyataan bahwa dalam kehidupan
masyarakat kita, bahwa tidak ada suatu upacara yang paling diagungkan selain
upacara perkawinan.
Perkawinan
memerlukan pertimbangan yang matang agar dapat bertahan dalam jangka
waktu yang lama
di dalam menjalin hubungan antara
suami istri diperlukan sikap
toleransi dan menempatkan diri pada peran yang semestinya. Sikap saling percaya
dan saling menghargai satu sama lain merupakan syarat mutlak untuk bertahannya sebuah perkawinan. Suami istri harus mau menjalankan
hak dan kewajibannya
secara seimbang agar tidak muncul masalah dalam perkawinan. Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sehingga konsekuensi bagi setiap perbuatan hukum yang sah adalah menimbulkan akibat
hukum, berupa hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak suami istri atau juga pihak lain dengan siapa salah satu
puhak atau kedua-duanya atau suami istri mengadakan hubungan. Dengan
demikian perkawinan itu merupakan salah satu perbuatan hukum dalam masyarakat,
yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat.
Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu, sehingga suatu perkawinan
yang menurut hukum dianggap tidak sah umpamanya anak yang lahir di luar
pernikahan, maka anak yang dilahirkanitu akan merupakan anak yang tidak sah.
2.
PENGERTIAN
PERKAWINAN
Berikut ini
adalah pengertian dan definisi perkawinan:
UU
Perkawinan No.1 Tahun 1974
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah
Prof. Subekti, SH
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu yang lama
Prof. Mr. Paul Scholten
Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita
untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara
Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro,
SH
Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum
perkawinan
K. Wantjik Saleh, SH
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri
Perjanjian Lama
Perkawinan merupakan bagian dari maksud Allah menciptakan manusia. Bukan peristiwa
aksidental. Bukan penemuan manusia. tetapi rencana baik Allah - bagian dari
cara dunia diciptakan
Nilam W
Perkawinan merupakan komitmen jangka panjang dan bersifat sakral
Menurut Agama Khatolik
Perkawinan merupakan persatuan antara seorang pria dan seorang wanita, yang
diberkati oleh Allah dan diberi tugas untuk meneruskan generasi manusia
memelihara dunia.
Menurut Agama Konghucu
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. SISTEM PERKAWINAN
Dimasyarakat ada suatu sistem perkawinan yang mana
masing-masing sistem mempunyai pengaruh sendiri terhadap status anak, waris, kedudukan
anak didalam suatu masyarakat adat. Adapun sistem perkawinan tersebut adalah
sebagai berikut.
Sistem endogami
Ialah suatu perkawinan yang memperbolehkan seseorang kawin itu harus
berasal dari keluarganya/marganya sendiri
Sistem exogami
Ialah suatu sistem perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang kawin itu
harus diluar keluarganya sendiri/marganya sendiri
Sistem eleuthrogami
Ialah suatu sistem perkawinan yang menganut sistem
endogami dan exogami.
4. BENTUK PERKAWINAN ADAT TERNATE
Perkawinan Adat ialah suatu
bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan dalam suatu masyarakat tertentu
yang
mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan suatu
perkawinan
baik secara seremonial maupun ritual menurut Hukum Adat setempat.
Perkawinan Adat di Ternate mengenal beberapa bentuk yang sejak dahulu
sudah
dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-abad
hingga
saat ini. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah :
1.
LAHI SE TAFO atau WOSA LAHI (=Meminang/Kawin
Minta)
2.
WOSA SUBA (=Kawin Sembah)
3.
SICOHO (=Kawin Tangkap)
4.
KOFU’U (=Dijodohkan)
5.
MASIBIRI (=Kawin Lari)
6. NGALI
NGASU (=Ganti Tiang)
Meminang / Kawin Minta (Lahi se Tafo atau Wosa
Lahi)
Lahi se Tafo atau meminang merupakan bentuk
perkawinan adat yang sangat populer dan dianggap paling ideal bagi masyarakat
setempat, karena selain berlaku dengan cara terhormat yakni dengan perencanaan
yang telah diatur secara matang dan didahului dengan meminang juga karena
dilakukan karena dilakukan menuruti ketentuan yang berlaku umum di masyarakat
dan juga dianggap paling sah menurut Hukum Adat. Pelaksanaan
rukun nikah dilakukan menurut syariat Islam dan setelah itu dilaksanakan acara
; Makan Adat, Saro-Saro, Joko Kaha (Lihat Artikel sebelumnya), dan disertai
dengan acara-acara seremonial lainnya. Sebagian masyarakat Ternate memandang
bahwa semakin megah dan meriah pelaksanaan seremonial sebuah perkawinan, maka
status/strata sosial dalam masyarakat bisa terangkat.
Kawin Sembah (Wosa Suba)
Bentuk perkawinan Wosa suba ini sebenanrnya
merupakan suatu bentuk penyimpangan dari tata cara perkawinan adat dan hanya
dapat disahkan dengan terlebih dahulu membayar/melunasi denda yang disebut “Bobango”. Perkawinan ini terjadi karena kemungkinan untuk menempuh cara
meminang/wosa lahi sangatlah sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan karena
faktor mas-kawin ataupun ongkos perkawinan yang sangat mahal dsb.
Perkawinan bentuk Wosa Suba ini terdiri atas 3 cara, yakni
:
Ø Toma
Dudu Wosa Ino, Artinya dari luar (rumah) masuk ke
dalam untuk menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis, dengan tujuan agar
dikawinkan.
Ø Toma
Daha Wosa Ino, Artinya dari serambi masuk
menyerahkan diri ke dalam rumah si gadis agar bisa dikawinkan.
Ø
Toma Daha Supu Ino, Artinya dari dalam kamar gadis keluar ke ruang tamu untuk
menyerahkan diri untuk dikawinkan karena si pemuda telah berada terlebih dahulu
di dalam rumah tanpa sepengatahuan orang tua si gadis.
Bentuk perkawinan “Wosa Suba” ini sudah jarang dilakukan oleh muda-mudi Ternate saat ini
karena mereka menganggap cara yang ditempuh dalam bentuk perkawinan ini kurang
terhormat dan menurunkan martabat keluarga pihak laki-laki.
Kawin Tangkap (Sicoho)
Bentuk perkawinan ini sebenarnya hampir sama dengan
cara ke tiga dari bentuk Wosa Suba di atas hanya saja kawin tangkap bisa saja
terjadi di luar rumah, misalnya di tempat gelap dan sepi, berduaan serta
berbuat diluar batas norma susila. Dalam kasus
seperti ini, keluarga pihak gadis menurut adat tidak dibenarkan melakukan
tindak kekerasan atau penganiyaan terhadap si pemuda walaupun dalam keadaan
tertangkap basah. Maka untuk menjaga nama baik anak gadis dan keluarganya
terpaksalah mereka dikawinkan juga menurut hukum adat secara islam yang berlaku
pada masyarakat Ternate. Perkawinan bentuk ini
dianggap sah menurut adat apabila si pemuda atau pihak keluarga laki-laki
terlebih dahulu meminta maaf atas perbuatan anaknya terhadap keluarga si gadis
dan membayar denda (Bobango)
kepada keluarga si gadis. Bentuk perkawinan ini masih sering ditemui di
Ternate.
Dijodohkan (Kofu’u)
Bentuk perkawinan ini terjadi apabila telah terlebih dahulu
terjadi kesepakatan antara orang tua atau kerabat dekat dari masing-masing
kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua anak mereka. Bentuk perkawinan dijodohkan ini tidak terlalu jauh berbeda
dengan daerah-daerah lain di Indonesia, hanya saja perbedaan yang paling
prinsipil adalah; Kalau di Ternate, terjadi antara anak-anak yang bapaknya
bersaudara dekat/jauh atau ibunya bersaudara dekat/jauh. Kebanyakan bentuk
perkawinan ini tidak disetujui oleh anak muda jaman sekarang sehingga jalan
yang mereka tempuh adalah bentuk “Masibiri” atau Kawin Lari. Bentuk perkawinan Kofu’u ini sudah jarang
terjadi dalam masyarakat Ternate.
Kawin Lari (Masibiri)
Perkawinan bentuk ini adalah cara yang
ditempuh sebagai usaha terakhir karena jalan lain tidak memungkinkan atau tidak
ada. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya Kawin Lari diantaranya karena
orang tua tidak menyetujui, menghindari biaya perkawinan yang sangat tinggi,
pihak laki-laki tidak mampu untuk melaksanakan cara meminang atau juga karena
mereka berlainan rumpun marga dalam kelompok soa yang tidak boleh kawin-mawin.
Bentuk perkawinan ini ditempuh dan dapat terjadi karena pihak
keluarga si pemuda adalah berasal dari strata bawah atau terlalu miskin untuk
mampu melaksanakan cara meminang. Masyarakat Ternate menganggap bahwa bentuk
Kawin Lari merupakan pintu darurat yang ditempuh oleh si pemuda. Kaum muda mudi
di Ternate jaman sekarang menyebutnya dengan istilah plesetan “Kawin
Cowboy”. Konsekwensi
adat yang dipikul akibat perkawinan ini sudah dipikirkan matang-matang oleh
pasangan kedua remaja tersebut. Walaupun perkawinan ini dilakukan secara
darurat (kebanyakan dilaksanakan di rumah penghulu) namun tetap dianggap sah
menurut hukum adat karena tata cara perkawinan dilaksanakan menurut rukun nikah
secara Islam. Biasanya yang bertindak sebagai wali
adalah “Wali Hakim Syari’at”.
Karena biasanya orang tua si gadis tidak bersedia menjadi wali nikah. Pada
umumnya si gadis lari/kabur dari rumah orang tuanya dan menuju ke rumah
petugas/pejabat nikah (Hakim Syari’at), ia langsung diterima oleh isteri
pejabat Haki Syari’at tersebut dan diperkenankan untuk mtinggal beberapa hari.
Setelah petugas memberitahukan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya sekarang
berada di rumahnya. Biasanya orang tua si gadis menyerahakan wali dan
pelaksanaan perkawinan darurat ini kepada petugas Hakim Syari’at untuk
mengurusnya. Bentuk perkawinan Masibiri ini hingga saat ini masih
banyak ditempuh oleh anak muda Ternate yang mengambil jalan pintas untuk
berumah tangga bila tidak direstui oleh orang tuanya.
Ganti Tiang (Ngali Ngasu)
Bentuk perkawinan ini walaupun menjadi salah satu
jenis dalam perkawinan adat di Ternate namun jarang sekali terjadi. Bentuk
perkawinan Ngali Ngasu ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami
isteri yang isterinya atau suaminya meninggal duni maka yang menggantikannya
adalah iparnya sendiri, yaitu kakak atau adik dari si siteri atau kakak atau
adik dari si suami suami. Bentuk penggantian peran
dimaksud dalam jenis perkawinan ini dilakukan dengan cara mengawini iparnya
sendiri demi kelangsungan rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak
lain. Perkawinan semacam ini bagi masyarakat adat
di pulau Jawa dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”. Namun karena perkembangan
pola pemikiran dan perkembangan jaman mengakibatkan bentuk perkawinan sudah
hampir tidak pernah terjadi lagi di Ternate.
5. UPACARA PERKAWINAN
Sigado
Salam
Proses tata cara perkawinan adat Ternate diawali
dengan menyampaikan salam atau dalam bahasa Ternate disebut Sigado
Salam. Salam dimaksud disampaikan dari pihak keluarga calon mempelai
laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan. Disaat sigado salam
dari pihak laki-laki yang biasanya diwakili oleh anggota keluarga tertua atau
pemangku adat sebagai utusan dengan maksud sehari dua pihak keluarga mempelai
laki-laki dalam watu satu atau dua hari nanti akan dating bertamu ke rumah
mempelai perempuan.Setelah mendengar salam yang disampaikan dari utusan
mempelai laki-laki, maka dengan rasa hormat dari pihak mempelai perempuan
menyambut salam dari utusan mempelai laki-laki bahwa salam mereka telah terima.
Wosa Lahi
Setelah melalui proses Sigado Salam maka pihak
mempelai laki-laki melakukan persiapan pada acara Masuk Minta
atau Wosa Lahi. Makna wosa lahi atau masuk minta secara harfiah berarti
melamar.meminang. Lamaran dilakukan oleh pihak laki-laki dengan mengutus
sesepuh atau keluarga tertua atau kerabat yang memiliki ikatan keluarga yang
diserahi tugas sebagai utusan, utusan ini dalam bahasa Ternate disebut dengan Baba
Se Ema Yaya Se Goa. Setelah tiba pada hari yang telah ditentukan¸utusan Baba
Se Ema Yaya Se Goa dari keluarga mempelai laki-laki menuju ke rumah calon
mempelai perempuan. Maka dari pihak mempelai perempuan dengan kabasaran
mengangkat Subah(salam) untuk menerima kehadiran utusan Baba Se Ema Yaya Se
Goa dari mempelai laki-laki, sebelum mengadakan kesepakatan, pihak mempelai
perempuan menyuguhkan pinang dan sirih yang melambangkan ikatan
keharmonisan dan saling menghargai dari kedua keluarga tersebut. Setelah
upacara makan pinang dan sirih, utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa dari
pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangannya. Yaitu meminang salah satu
anak perempuan dari keluarga tersebut. Sekaligus mohon penjelasan
dan jawaban dari pihak calon mempelai perempuan. Setelah mendengar maksud
kedatangan utusan pihak tersebut pihak keluarga calon mempelai perempuan yang
menyetujui dan merestui maksud dan tujuan utusan Baba Se Ema Yaya Se Goa,
secara bersama-sama menentukan waktu untuk antar belanja atau yang
dikenal dalam bahasa Ternate disebut harga pinang dan sirih, serta
penentuan hari dan bulan perkawinannya.
Kata Bido Se
Hana Ma Ija
Mengantarkan belanja dalam bahasa Ternate kata
bido se dufahe maija dari utusan calon mempelai laki-laki kepada pihak
keluarga calon mempelai perempuan disaat prosesi masuk minta atau wosa lahi.
Antar belanja atau kato bido se hena maija yang dilakukan oleh baba se ema yaya
segoa dari utusan calon mempelai laki-laki, dengan mengandung makna bahwa bido
sedufahe maija merupakan permintaan dari pihak memeplai wanita yang menyangkut
dengan kebutuhan dalam prosesi perkawinan dengan segala macam perjanjian yang
harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki menjelang upacara perkawinan.
Fere Wadaka
Setelah mengantarkan belanja maka proses perkawinan
diawali dengan upacara naik wadaka atau dalam bahasa Ternate disebut Fere
Wadaka. Fere Wadaka secara harfiah memiliki makna bahwa sebelum
dilangsungkan acara perkawinan maka calon pengantin utamanya mempelai perempuan
melakukan tapak diri(naik lulur) yakni calon pengantin dipingit beberapa hari
dalam kamarnya sambil dilulur dengan bedak tradisional, kemudian dilakukan
pensucian diri hingga tibanya acara kata rorio yaya segoa.
Kata Rorio/Yaya Segoa
Kata rorio yaya segoadilakukan pada malam hari
menjelang hari pernikahan, acara ini dihadiri oleh keluarga dari kedua
mempelai, kerabat dan handaitolan dengan maksud menjenguk dan memberikan restu
atas kelangsungan pernikahan dari mempelai dengan membawa bantuan apa adanya
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Makna yang terselip pada acara kata
rorio yaya segoa adalah memeperat tali silaturahmi atau sidoa gia yang tulus
tanpa paksaan dari keluarga dan handaitolan.
Hodo Jako
Hodo jako atau mandi dari tiga tabung bambu dilakukan
pada waktu subuh menjelang hari pernikahan, sebelum mandi jako dilakukan
mempelai telah melakukan naik wadaka terlebih dahulu dengan melulurkan
seluruh tubuh dengan bedak tradisional yang diakhiri dengan mandi jako, dengan
menggunakan lesa-lesa(piring besar), daun pohon bulahyang yang melambangkan
mahligai rumah tangga, hate jwa dan kano-kano(sejenis ilalang besar) yang
melambangkan kesuburan rumah tangga yang akan dibangun, mayang pinang yang
melambangkan kehidupan rumah tangga yang utuh seperti tangkai mayang dan buah
kelapa melambangkan pengertian bersama dari kedua suami istri dalam mengarungi
bahtera rumah tangga serta tiga buah tabung bambu, dari sumber mata air yang
berbeda yang melambangkan kepatuhan dan pengabdian kita kepada sang pencipta,
agama dan penuh rasa kemanusiaan.
Upacara Ijab
Kabul
Upacara ini dilangsungkan di kediaman mempelai pria,
yang sudah mengenakan pakaian pengantin secara lengkap yaitu destar, jubah, dan
gamis, dlengkapi dengan keris yang diselipkan di pinggang bagian depan.
Disesuaikan dengan perubahan zaman, pengantin pria sekarang mengenakan selop
sebagai alas kaki. Sedangkan pengantin wanita yang tinggal di rumahnya sendiri
memakai koci-koci, terdiri dari pasangan sarung dan semacam baju kurung yang
diberi ikat pinggang, berselendang dan di bagian lehernya dihiasi semacam
penutup yang melingkar menutupi pundak hingga punggung. Ditinjau dari bentuk
hiasan kepalanya, dapat dikatakan bahwa hal ini sudah dipengaruhi oleh
kebudayaan cina. Jenis pakaian pengantin yang dikenakan pada asal
mulanya ditentukan oleh tingkatan derajat dari pengantin. Namun tentu saja
peraturan semacam ini sudah tidak berlaku lagi. Setiap pasangan yang akan
menikah berhak untuk memilih jenis pakaian yang akan mereka kenakan sesuai
selera mereka masing-masing. Usai upacara ijab kabul, kedua mempelai diantar ke
rumah mempelai wanita oleh kerabat, handai tolan dan teman-teman dekat pria
maupun wanita. Dan pada kesempatan ini pihak keluarga mempelai pria membawa
hantaran peralatan adat yang disebut ngale-ngale yang dimaksudkan sebagai
barang-barang persembahan bagi mempelai wanita (semacam upacara seserahan dalam
adat Sunda) yang terdiri dari:
- Kai Ma Ija (mas kawin) berupa sejumlah uang atau seperti yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak) dibungkus kantung putih yang dijahit rapat, diibaratkan sebagai kemurnian kehormatan mempelai wanita. Kemudian kantung berisi uang tersebut dimasukkan dalam kotak yang dilapis kain putih, melambangkan bahwa mempelai wanita berasal dari naungan keluarga baik-baik. Pembawa kotak berisikan uang yang diletakkan di atas baki dengan penutup kain sutera ini adalah seorang gadis kecil yang didandani dengan pakaian adat.
- Gogoro Ma Pake: baki yang diisi dengan perlengkapan wanita dan perhiasannya antara lain 1 helai kain sutera, 1 helai kebaya sutera, 1 helai kerudung putih, 1 set perhiasan dari emas atau perak (giwang, kalung, cincin, bros dan lain-lain). Juga kini dilengkapi dengan sepasang selop.
- Kaha Ma Jojobo, yang terdiri dari: 1 rumpun rumput fartogu dengans edikit tanahnya, 1 botol (carrave) air murni (dari sumur), sebuah piring dari beling berwarna putih berisikan segenggam beras yang telah diberi warna kuning, putih, dan merah (beras populak), yang berarti adanya umat manusia yang beraneka warna/ragam, bunga dari lilin yang berarti sinar kasih abadi atau yang dimaksud sebagai lambang penerangan abadi dalam hidup kedua mempelai.
Semua barang ini pun diletakkan diatas baki. Setelah iring-iringan mempelai
pria tiba di depan rumah mempelai wanita, dimulai pula rangkaian upacara
selanjutnya yang disebut:
Gere Se
Doniru yang diawali dengan:
- Upacara yang dilangsungkan begitu iringan mempelai pria tiba di pintu depan rumah dan pintu kamar mempelai wanita yang dihalangi oleh beberapa pemuda pemudi yang disebut Fati Ngara yang harus di "bujuk" dengan "ngara mo ngoi" taburan uang receh sesuai dengan kemampuan oleh pemuda pemudi pengiring mempelai pria, kepada Fati Ngara agar mereka berkenan membukakan pintu rumah mempelai wanita. hal yang sama akan diulang lagi di muka pintu pintu kamar mempelai wanita.
- Jika mempelai pria beserta rombongan berhasil melalui kedua pintu tadi, maka mereka akan tiba dimuka mempelai wanita yang didudukkan di pelaminan dengan bertiraikan kelambu. Kelambu baru akan dibuka setelah iringan mempelai pria menaburkan uang receh yang disebut "Guba Ma Ngoi".
- Upaca memberi uang dilaksanakan kembali pada waktu mempelai pria akan membuka kukudu (penutup kepala) mempelai wanita, dan upacara ini disebut Ngongoma Bubi. Dilanjutkan pengusapan ubun-ubun mempelai wanita, dengan telapak tangan kanan mempelai pria lambang tanda penerimaan yang sah dari suami terhadap istrinya. Aati lain dari gerakan ni adalah saling membatalkan "wudhu" yang dilakukan kedua mempelai guna melakukan shalat, sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Kemudian disambungkan dengan mendudukan mempelai pria di sebelah kiri wanitanya, sehingga kedua sejoli duduk berdampingan. Sesudah itu keris yang terselip di pinggang pria diambil dan dihunus dari sarungnya. Sarung keris diletakkan di pangkuan mempelai wanita dengan tangan kirinya tetap menggenggamnya, sedang tangan kanan menggenggam hulu keris yang diletakkan di pangkuannya sendiri. Tindakan ini melambangkan penyerahan jiwa untuk sehidup semati dari kedua belah pihak.
Paha
Ngomgoma
Setelah melewati tradisi fati ngara atau pele pintu
pihak mempelai laki-laki memasuki kamar mempelai wanita sekedar meletakkan
tangan di atas ubun mempelai wanita yang memiliki makna bahwa mempelai pria dan
wanita dengan sah menjadi suami istri, kemudian dilanjutkan dengan pemberian
mas kawin oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Acara ini
kemudian dilanjutkan dengan upacara joko kaha dengan mempergunakan rumput
fartagu yang terletak di atas sebuah piring yang melambangkan kehidupan dan
kebahagian yang akan dijamah oleh kedua mempelai, sedangkan sebotol air yang
disiram pada kedua kaki mempelai yang melambangkan keteduhan dan kesejukan
kehidupan yang menjadi sandaran bagi kedua mempelai dan pupulak yang terdiri
dari beras kuning, beras merah dan beras hijau melambangkan bermacam-macam suku
yang menjadi sahabat dan kenalan bagi kedua mempelai.
Suba Yaya Baba
Setelah melakukan paha ngoma dan penyerahan mas kawin
kedua mempelai melakukan subah yaya se baba yaitu melakukan sembah sujud kepada
kedua orang tua sekaligus melepaskan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya
dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka.
Saro-saro
Acara tradisi perkawinan Ternate yang sangat menarik
perhatian adalah upacara Saro-saro upacara yang dilakukan oleh
ibu-ibu atau yang dikenal dengan yaya segoa ini. Setelah kedua mempelai
menjalani prosesi pernikahan kemudian menempati tempat yang telah
disediakan untuk upacara saro-saro, upacara ini diawali dengan subah(salam)
dari kedua mempelai kemudian dilanjutkan dengan upacara saro yang diawali
dengan saro srikaya yang melambangkan budi pekerti yang harus ditunjukan oleh
kedua mempelai, saro nanas yang melambangkan kesetiaan sang istri terhadap
suami, dan saro kobo yang melambangkan sifat suami yang bertanggung jawab
terhadap rumah tangga. Acara saro-saro ini merupakan bentuk doa atau permintaan
yang sifatnya ritual dengan makna yang filosofis mengandung symbol dalam bentuk
pangan atau dalam bahasa Ternate disebut ngale secara yang disuguhkan
kepada kedua mempelai dengan ciri khas dan sifat-sifat yang melekat pada diri
manusia dan alam sekitarnya. Saro-saro merupakan tradisi perkawinan yang
dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Moloku Kie Raha.
Ngogu Adat
Ngogu adat atau makanan adat ini disuguhkan pada acara
perkawinan masyarakat Moloku Kie Raha yang merupakan ungkapan rasa syukur dalam
bentuk cara sengale dalam pelaksanaan hajatan perkawinan. Makanan adat
Ternate yang kita kenal saat ini dibagi dalam dua bentuk yait Dodego nunau I
yaya segoa dan Dodego foheka mi yaya segoa. Kedua bentuk tersebut
pada prinsipnya memiliki makna yang sama akan tetapi secara harfiah makna
sesungguhnya dari dodego foheka mi yaya segoa adalah melakukan saro-saro dari
kedua mempelai sedangkan dodego nanau I yaya segoa yang terdiri dari para
pemangkut adat, imam, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para undangan yang
menerima salam atau koro bersama-sama membacakan doa dan dilanjutkan dengan
suguhan makanan adat, yang terdiri dari sepuluh potong nasi jaha atau pali-pali
yang melambangkan armada laut(juwanga), dada atau kukusang(nasi tumpeng)
demokrasi dan kesatuan, ikan dan terong melambangkan cing se cingare(kehidupan
lelaki dan perempuan), gulai melambangkan kekayaan laut dan daratan, bubur
kacang hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran srikaya melambangkan budi
pekerti dan tata karma masyarakat Ternate dan empat buah boboto melambangkan
kekuatan empat momole.Dari sajian makan adat tersebut pada umumnya disajikan
dalam satu paket atau dalam bahasa Ternate disebut ngogu rimoi dibagi empat
orang gogoro(undangan) yang hadir mengikuti upacara tersebut. Prosesi
perkawinan adat Ternate yang dilakukan secara turun temurun, yang tetap lestari
dan hidup di masyarakat merupakan nilai budaya daerah yang perlu dijaga
keutuhannya sebab nilai budaya daerah merupakan aset budaya bangsa.
Upacara Suba
Kie Se Kolano
Dilakukan dengan menghadapkan kedua mempelai ke empat penjuru: Barat,
Timur, Utara dan Selatan sebagai tanda penghormatan kepada kolano negeri dan
sumber angin. Setelah upacara-upacara adat selesai, tamu dipersilakan makan,
lalu acara berlanjut dengan menari bersama diiringi musik tradisional dan
nyanyian rakyat Maluku Utara yang bernada gembira. Para tamu yang hadir
dalam acara ini turut pula berpartisipasi.
6. WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
Menurut hukum kewarisan islam, ada
beberapa hal yang menyebabkan seseorang dapat menjadi ahli warisorang lain.
1. Penyebab utama adalah hubungan
darah atau kekerabatan
a. Ke bawah: anak-anak baik laki-laki maupun perempuan serta keturunannya
b. Ke atas: orang tua baik ibu atau ayah dan yang menurunkannya
c.
Kesamping: anak ayah atau anak ibu,anak nenek atau kakaek, sambung menyambung
satu dengan yang lain menentukan jarak dekatnya hubungan masing-masing dengan
pewaris.
2. Hubungan perkawinan.
Hukum
perkawinan merupakan penyebab seseorang menjadi ahli waris orang lain. Dalam
hal ini suami isteri. Disamping hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi ahli
waris, ada juga hal yang menghalangi seseorang menjadi ahli waris seseorang.
Kendatipun ia termasuk dalam kedua kategori penerima ahli waris. Penghalang
seseorang menjadi ahli waris:
1. Pembunuhan
yang dilakukan oleh calon ahli waris terhadap pewaris.
Dalam sistem
kewarisan islam melarang pengalihan harta peninggalan seseorang kepada ahli
warisnya secara terpaksa, apalagi dengan cara kejidiluar proses yang lazim
yaitu kematian biasa.
2. Perbedaan
agama.
Perbedaan
agama merupakan halangan untuk saling mewarisi. Orang muslim tidak dapat
mewarisi harta peninggalan orang bukan muslim begitu sebaliknya.
3. Kelompok
keutamaan dan hijab.
Prinsip
keutamaan adalah prinsip yang menentukan jarak dekatnya seseorang dengan pewaris.
a.
Kelompok keutaman yang pertama
Misalnya:
kelompok 1 bergabung anak-anak dengan orang tua, kelompok 2 saudara-saudara
pewaris. Dalam hukum islam jelas hubungan anak dan orang tua yang paling dekat
dengan pewaris.
b.
Kelompok keutaman yang kedua
Hubungan perkawian
yang menjadi ahli waris adalah suami atau isteri yang masih hidup.
Hijab menurut etimologi adalah
menutup atau halangan. Menurut hukum islam hijab berarti terhalang atau
tertutupnya seseorang menjadi ahli waris karena ada ahli waris lain yang lebih
berhak. Ada 2 macam hijab:
1)
Hijab penuh
Hijab penuh
adalah tertutupnya hak kewarisan seseorang secara menyeluruh.Misal: nenek
terhalang oleh ibu, cucu terhalang anak.
2)
Hijab tak
penuh atau hijab kurang
Berkurangnya perolehan ahli waris
dalam kasus tertentu, dalam kasus tertentu. Misal: ibu yang dihijab oleh anak
cucunya bagianya menjadi berkurang dibandingkan tidak dihijab, bagian yang
diterima sebelum dihijab sepertiga kalau dihijab menjadi seperenam.
Ada tiga unsur dalam islam yang
memungkinkan peralihan harta peninggalan seseorang sebagaimana mestinya.
1.
Pewaris
Pewaris
adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu untuk keluarga
yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari pewaris tidak berhak menentukan siapa
yang berhak mendapat warisan, berapa banyak, dan bagaimana cara mengalihkannya.
Sebab, semuanya telah diatur oleh Allah dan secara pasti yang wajib
dilaksanakan.
2.
Harta
warisan atau harta peninggalan
Harta
warisan atau harta peninggalan adalah Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris
yang sepenuhnya milik pewaris. Sedangkan benda yang sepenuhnya bukan milik
pewaris tidak dapat tidak dapat dialihkan menjadi milik ahli waris. Mengenai
hutang ahli waris tidak berhak membayar hutang-hutang pewaris dengan harta
pribadinya jika hutang- hutang melebihi harta yang diwariskan, namun orang
muslim sering membayar hutang-hutang pewaris hingga semuanya sah.
3.
Ahli waris
Ahli waris
merupakan orang yang berhak mendapat harta peninggalan dari pewaris atau orang
yang sudah meninggal. Disamping karena hubungan darah dan perkawinan ada
beberapa syarat agar seseorang dapat menjadi ahli waris yaitu:
a) Masih
hidup saat pewaris meninggal
b) Tidak ada
sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris
c) Tidak tertutup ahli waris yang
utama
Perincian pokok ahli waris menurut
hubungan darah: Anak laki-laki atau perempuan, Cucu baik laki-laki atau
perempuan, Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, Saudara laki-laki atau perempuan seayah
atau seibu, Anak saudara, Paman, Anak-anak paman
Sedangkan karena hubungan perkawinan
adalah suami isteri. Kedudukan suami isteri dalam ahli waris diatur dengan
tegas dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 12.kewarisan karena hubungan ini tidak
menyebabkan hak kewarisan apapun bagi kerabat suami atau isteri. Ada 2 macam
ahli waris dalam hukum islam,
1.
Ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya (zul
fara’id)
Ahli waris yang sudah ditentkan secara pasti bagianya,
setengah, seperempat, , seperdelapan, sepertiga, dua pertiga seper enam.
2.
Ahli waris yang tidak ditentukan bagianya
Ahli waris
yang memperoleh bagian tertentu dalam keadan tertentu, atau yang mendapat sisa
harta sesudah dikeluarkan bagian zul fara’id dengan pembagian yang bersifat
terbuka. Misal : didalam Al-Qur’an disebutkan kewarisan anak laki-laki tetapi
tidak dirinci jumlahnya.
Dalam hukum kewarisan islam ada
berbagai langkah atau cara untuk menyelesaikan pembagian warisan secara tuntas.
Sebelum warisan dibagi, ada persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu,
1. Soal-soal yang berhubungn dengan pengurusan jenasah hingga pemakaman,
2. Menyelesaikan pembayaran hutang, baik hutang kepada Allah yang berupa
nazar, zakat, dan hutang kepada sesama manusia.
3.
Menyelesaiakan wasiat pewaris. Batas wasiat telah diatur oleh nabi Muhammad
yaitu tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan.
Dalam pembagian harta warisan harus menggunakan teknik
tertentu seperti dibagi habis seperti ketetapan Allah dan ketentuan Nabi
Muhammad. Jika dalam pembagian terdapat sengketa maka baiasanay diselesaikan
oleh pengadilan. Dalam hukum islam yang berhak menyelesaikan sengketa adalah
pengdilan agama. Kekuasaan kehakiman di Indonesia pengadilan agama adalah
pengadilan tingkat I bagi orang islam untuk menyelesaikan sengketa perkawinan,
perceraian, kewarisan, hibah, wasiat, waqaf dan sadaqah, diatasnya lagi ada pengadialan
tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. Sedangkan puncak pengadilan
adalah Mahkamah Agung.
DAFTAR PUSTAKA
-
http://busranto.blogspot.com/2007/11/bentuk-perkawinan-adat-di-ternate_14.html